aku hanya tinggal berdua
dengan ayahku kami tinggal di sebuah rumah yang sederhana di kota. Ibuku sudah
lama meninggalkan keluarga ini untuk selamanya.
Suatu hari, saat aku
berumur 6 tahun ada suatu kejadian yang tak mungkin dapat ku lupakan. Pukul
10.00 AM tepatnya, aku pulang sekolah dijemput oleh ayahku dengan jalan kaki.
Saat itu aku melihat sebuah mainan cantik yang terjatuh di tengah jalan. Secara
tidak sadar aku berlari menuju boneka cantik itu. Ayahku lalu mengejarku dan
berteriak “Jangan Nak! Ayah berjanji akan membelikannya untukmu!” namun, aku
tak hiraukan seruan ayahku itu.
Aku tetap berlari menuju mainan itu tanpa kusadari
bahwa jalanan itu sangat ramai. Dan tepatnya dibelakangku ada sebuah truck
besar yang hendak menabrakku. “Aaaaaahhhhhh!!!!!” teriakanku tak dapat ku tahan
lagi. Ayah menghadang truck itu untukku. Aku menangis sekencang-kecangnya
dengan membawa boneka, melihat ayahku yang berlumuran darah dan dikrubungi banyak
orang. Dan akhirnya kami dibawa ke rumah sakit oleh warga. Tetesan air mataku
berjatuhan menemaniku duduk di ruang tunggu bersama wali kelasku. Beliau
memelukku dan mencoba menenangkanku.
Ayahku dirawat di Rumah
Sakit selama beberapa hari dan selama itu aku tinggal di rumah sendiri, tak
jarang guruku datang menemaniku.
Hingga suatu hari aku dan
ayahku sudah sembuh. Tapi beliau kehilangan suaranya, beliau tidak bisa bicara
lagi. Jikapun ayah ingin sembuh ia harus menghabiskan tabungan yang harusnya
untuk biaya sekolahku nanti. Tapi, ayahku tidak mau melakukan itu demi masa
depanku. Akhirnya kami bisa kembali ke rumah. Tapi bukan rumahku yang dulu.
Bukan rumah yang bagus. Aku dan ayah pindah ke suatu rumah yang lusuh dipinggir
kota. Rumah kami yang dulu dijual oleh ayahku untuk mengobati penyakitnya dan
untuk menyewa rumah yang baru yang lusuh itu.
Sekarang, Ayahku tak jelas
apa pekerjaannya, terkadang iya menjadi kuli bangunan, menjadi tukang Koran dan
terkadang ia memungut sampah dijalanan. Aahhh ! sudah lupakan semua tentang
ayahku yang bisu ini. Aku sungguh enggan mengingat semua ini, kenapa aku harus
terlahir untuk menjadi anaknya. Kenapa takdir menakdirkan aku seperti ini. Aku
menangis dipojok kamarku mengingat ejekan teman-temanku “bisu! Bisu! Dan bisu !
hahaha!” tawa teman-temanku tak bisa ku lupakan, semuanya terngiang-ngiang
ditelingaku.
Ayahku datang menghampiri,
dia membasuh air mataku dengan jemarinya dan berkata dengan bahasa isyaratnya
“jangan menangis nak! Ayah akan memenuhi semua keinginanmu tidak hanya
kebutuhanmu saja. Ini memang takdir dari Tuhan yang tidak bisa kita pungkiri
lagi.”
Ayah memelukku, tapi aku
mendorongnya hingga terjatuh. Aku berlari menuju tempat tidurku. Tampak wajah
ayahku yang kecewa karena perbuatanku. Ayahku pergi meninggalkanku dan
mengucapakan selamat malam dengan bahasa isyaratnya, lalu menutup pintu
kamarku.
Pagi hari, ayahku sudah
siap mengantarku ke sekolah dengan sepeda roda duanya yang lusuh dan buntut,
yang ia beli di pasar rombeng minggu lalu. Ayahku menungguku keluar rumah. Aku
melihatnya dari balik jendela kamarku, menatapnya dengan penuh ketidak yakinan
jika ayahku akan mengantarku ke sekolah lagi.
Aku keluar rumah, ayahku
berbicara dengan isyaratnya yang tak jelas itu. tapi aku tidak mempeduikannya,
aku berjalan dengan langkahku. Ayahku pun mengejar dari belakang dengan
sepedanya. “ayo nak, naik ! ayah antar dengan sepeda ayah yang baru ini. Ayah
sengaja membelikannya untukmu. Agar kamu tidak terlambat ke sekolah” kata
ayahku dengan isyarat tangannya.
Memang sebelumya, aku
protes kepada ayahku karena ayahku tidak mengantarku sekolah dan mebiarkanku
jalan kaki.
#flashback
“ayah, aku capek setiap
hari jalan kaki ! setiap hari aku terlambat dan dimarahi ibu guru! Aku capek
yah !” keluhku kepadanya.
“sabarlah sebentar nak!
ayah akan menabung untuk membeli sepeda untukmu. Sekarang kamu makan ikan yang
ayah beli ini. Supaya gizimu terpenuhi !” kata ayahku dengan bahasa isyaratnya.
Aku melahap habis ikan
yang dibawakan itu. ayah memandangku penuh bahagia.
***
tapi sepeda ini terlihat
lusuh dan buntut. Apa kata teman-temanku nanti jika melihatku dibonceng orang
tua yang lusuh dan sepeda yang buntut. Lengkaplah penderitaanku sudah. Tapi,
aku sudah terlambat sekolah. Aku menaiki sepeda buntut itu. sebelumnya ayahku
berkata dengan bahasanya “ayo pegangan yang erat ! kita akan mengebut!”
sampailah aku di sekolah
dan aku tidak terlambat. Teman-temanku melihatku dibonceng oleh pria lusuh dan
sepeda buntut itu. mereka menertawaiku dengan penuh kepuasan. Aku berlari
menuju kelas tanpa pamit ke ayahku terebih dahulu.
Di kelas teman-temanku
selalu mengolok-ngolokku, menjauhiku, mengucilkanku, membicaarakanku. aku mulai
sangat membenci ayahku. Sungguh, sungguh membecinya. Aku tidak ingin hidup lagi
jika bersamanya. Aku ingin mati saja.
Bel pulang sekolahku
berbunyi. Dan akhirnya penderitaanku di sekolah telah berakhir dan mungkin akan
berakhir untuk selama-lamanya. Ayahku sudah menjemputku di depan sekolah. Aku
sudah tak tahan melihat mereka menertawakanku dan aku juga tak tahan menahan
air mata ini. Aku langsung menaiki sepeda buntut itu. ayahku bertanya-tanya
mengapa aku menangis. Aku membentaknya, “ayo cepat pulang!” ayahku menggayu
sepedanya dengan sekencang-kencang.
Sampai di rumah, aku langsung
berlari ke kamarku dan menguncinya. Ayahku bingung, apa yang terjadi kepadaku.
Aku merasa jenuh dengan hidupku. Aku lelah dengan semuanya. Semuanya terasa
begitu gelap. Tak ku pikir panjang, aku ambil pisau kecil itu dan mulai
mengiris nadiku. Aku tergeletak dengan lumuran darah yang mengalir sangat
deras. Ayahku mengetuk pintu kamarku, namu tak ada suara yang ia dapati. Ia
mulai curiga dan mendobrak pintu kamarku.
Ia tampak shock melihatku
dibaluti darah. Dia menggendongku berlari menuju Rumah sakit. Sampai di rumah
sakit, aku dibawa ke UGD. Ayahku berlutut ke dokter untuk menyelamatkanku.
Beberapa menit kemudia
dokter keluar dan ayahku menghampirinya. “anak bapak membtuhkan darah yang yang
banyak. Sedangkan kami tidak menyediakan golongan darah anak bapak disini.
Kebetulan sudah habis.” Ayahku mulai menangisa dan berlutut kepada dokter “ambil
saja darah saya. Ambil saja semua berikan kepada anak saya. Saya tidak
mebutuhkannya. Anak saya lebih membutuhkan” kata ayahku dengan bahasanya dengan
berlutut memohon kepada dokter.
Darah ayahpun
ditransfusikan kepadaku sebagian. Meskipun kepalaku agak pusing dan pening.
Meskipun mataku sangat kabur pandangannya. Aku melihat jika ayah tersenyum
kepadaku dan matanya berkaca-kaca. Pada detik itu aku tersadar akan cinta dan
kasih sayang ayahku yang begitu besar. Ayahku rela dipukuli karena menyelamatkanku
dari anak-anak nakal, ayahku rela kehilangan suaranya demi nyawa dan masa
depanku, ayahku rela tak makan demi memenuhi giziku. Bukan itu saja pengorbanan
yang ia lakukan kepadaku. Berjutaan pengorbanan yang ia berikan. Bahkan
sekarang ia relakan nyawanya untuk hidupku. Aku terlalu bodoh mengacuhkan kasih
sayang ayahku dan mempedulikan perkataan teman-temaku. Ayah tolong jangan tutup
matamu terlebih dahulu sebelum aku bisa membahagiakanmu. Aku benar-benar
mencintaimu Ayah, jangan tinggalkan aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar