Sabtu, 07 Juli 2012

Cerita : Ayah Jangan Tinggalkan Aku

 
aku hanya tinggal berdua dengan ayahku kami tinggal di sebuah rumah yang sederhana di kota. Ibuku sudah lama meninggalkan keluarga ini untuk selamanya.
Suatu hari, saat aku berumur 6 tahun ada suatu kejadian yang tak mungkin dapat ku lupakan. Pukul 10.00 AM tepatnya, aku pulang sekolah dijemput oleh ayahku dengan jalan kaki. Saat itu aku melihat sebuah mainan cantik yang terjatuh di tengah jalan. Secara tidak sadar aku berlari menuju boneka cantik itu. Ayahku lalu mengejarku dan berteriak “Jangan Nak! Ayah berjanji akan membelikannya untukmu!” namun, aku tak hiraukan seruan ayahku itu.
Aku tetap  berlari menuju mainan itu tanpa kusadari bahwa jalanan itu sangat ramai. Dan tepatnya dibelakangku ada sebuah truck besar yang hendak menabrakku. “Aaaaaahhhhhh!!!!!” teriakanku tak dapat ku tahan lagi. Ayah menghadang truck itu untukku. Aku menangis sekencang-kecangnya dengan membawa boneka, melihat ayahku yang berlumuran darah dan dikrubungi banyak orang. Dan akhirnya kami dibawa ke rumah sakit oleh warga. Tetesan air mataku berjatuhan menemaniku duduk di ruang tunggu bersama wali kelasku. Beliau memelukku dan mencoba menenangkanku.
Ayahku dirawat di Rumah Sakit selama beberapa hari dan selama itu aku tinggal di rumah sendiri, tak jarang guruku datang menemaniku.
Hingga suatu hari aku dan ayahku sudah sembuh. Tapi beliau kehilangan suaranya, beliau tidak bisa bicara lagi. Jikapun ayah ingin sembuh ia harus menghabiskan tabungan yang harusnya untuk biaya sekolahku nanti. Tapi, ayahku tidak mau melakukan itu demi masa depanku. Akhirnya kami bisa kembali ke rumah. Tapi bukan rumahku yang dulu. Bukan rumah yang bagus. Aku dan ayah pindah ke suatu rumah yang lusuh dipinggir kota. Rumah kami yang dulu dijual oleh ayahku untuk mengobati penyakitnya dan untuk menyewa rumah yang baru yang lusuh itu.
Sekarang, Ayahku tak jelas apa pekerjaannya, terkadang iya menjadi kuli bangunan, menjadi tukang Koran dan terkadang ia memungut sampah dijalanan. Aahhh ! sudah lupakan semua tentang ayahku yang bisu ini. Aku sungguh enggan mengingat semua ini, kenapa aku harus terlahir untuk menjadi anaknya. Kenapa takdir menakdirkan aku seperti ini. Aku menangis dipojok kamarku mengingat ejekan teman-temanku “bisu! Bisu! Dan bisu ! hahaha!” tawa teman-temanku tak bisa ku lupakan, semuanya terngiang-ngiang ditelingaku.

Ayahku datang menghampiri, dia membasuh air mataku dengan jemarinya dan berkata dengan bahasa isyaratnya “jangan menangis nak! Ayah akan memenuhi semua keinginanmu tidak hanya kebutuhanmu saja. Ini memang takdir dari Tuhan yang tidak bisa kita pungkiri lagi.”
Ayah memelukku, tapi aku mendorongnya hingga terjatuh. Aku berlari menuju tempat tidurku. Tampak wajah ayahku yang kecewa karena perbuatanku. Ayahku pergi meninggalkanku dan mengucapakan selamat malam dengan bahasa isyaratnya, lalu menutup pintu kamarku.
Pagi hari, ayahku sudah siap mengantarku ke sekolah dengan sepeda roda duanya yang lusuh dan buntut, yang ia beli di pasar rombeng minggu lalu. Ayahku menungguku keluar rumah. Aku melihatnya dari balik jendela kamarku, menatapnya dengan penuh ketidak yakinan jika ayahku akan mengantarku ke sekolah lagi.
Aku keluar rumah, ayahku berbicara dengan isyaratnya yang tak jelas itu. tapi aku tidak mempeduikannya, aku berjalan dengan langkahku. Ayahku pun mengejar dari belakang dengan sepedanya. “ayo nak, naik ! ayah antar dengan sepeda ayah yang baru ini. Ayah sengaja membelikannya untukmu. Agar kamu tidak terlambat ke sekolah” kata ayahku dengan isyarat tangannya.
Memang sebelumya, aku protes kepada ayahku karena ayahku tidak mengantarku sekolah dan mebiarkanku jalan kaki.
#flashback
“ayah, aku capek setiap hari jalan kaki ! setiap hari aku terlambat dan dimarahi ibu guru! Aku capek yah !” keluhku kepadanya.
“sabarlah sebentar nak! ayah akan menabung untuk membeli sepeda untukmu. Sekarang kamu makan ikan yang ayah beli ini. Supaya gizimu terpenuhi !” kata ayahku dengan bahasa isyaratnya.
Aku melahap habis ikan yang dibawakan itu. ayah memandangku penuh bahagia.
                                                                        ***
tapi sepeda ini terlihat lusuh dan buntut. Apa kata teman-temanku nanti jika melihatku dibonceng orang tua yang lusuh dan sepeda yang buntut. Lengkaplah penderitaanku sudah. Tapi, aku sudah terlambat sekolah. Aku menaiki sepeda buntut itu. sebelumnya ayahku berkata dengan bahasanya “ayo pegangan yang erat ! kita akan mengebut!”
sampailah aku di sekolah dan aku tidak terlambat. Teman-temanku melihatku dibonceng oleh pria lusuh dan sepeda buntut itu. mereka menertawaiku dengan penuh kepuasan. Aku berlari menuju kelas tanpa pamit ke ayahku terebih dahulu.
Di kelas teman-temanku selalu mengolok-ngolokku, menjauhiku, mengucilkanku, membicaarakanku. aku mulai sangat membenci ayahku. Sungguh, sungguh membecinya. Aku tidak ingin hidup lagi jika bersamanya. Aku ingin mati saja.
Bel pulang sekolahku berbunyi. Dan akhirnya penderitaanku di sekolah telah berakhir dan mungkin akan berakhir untuk selama-lamanya. Ayahku sudah menjemputku di depan sekolah. Aku sudah tak tahan melihat mereka menertawakanku dan aku juga tak tahan menahan air mata ini. Aku langsung menaiki sepeda buntut itu. ayahku bertanya-tanya mengapa aku menangis. Aku membentaknya, “ayo cepat pulang!” ayahku menggayu sepedanya dengan sekencang-kencang.
Sampai di rumah, aku langsung berlari ke kamarku dan menguncinya. Ayahku bingung, apa yang terjadi kepadaku. Aku merasa jenuh dengan hidupku. Aku lelah dengan semuanya. Semuanya terasa begitu gelap. Tak ku pikir panjang, aku ambil pisau kecil itu dan mulai mengiris nadiku. Aku tergeletak dengan lumuran darah yang mengalir sangat deras. Ayahku mengetuk pintu kamarku, namu tak ada suara yang ia dapati. Ia mulai curiga dan mendobrak pintu kamarku.
Ia tampak shock melihatku dibaluti darah. Dia menggendongku berlari menuju Rumah sakit. Sampai di rumah sakit, aku dibawa ke UGD. Ayahku berlutut ke dokter untuk menyelamatkanku.
Beberapa menit kemudia dokter keluar dan ayahku menghampirinya. “anak bapak membtuhkan darah yang yang banyak. Sedangkan kami tidak menyediakan golongan darah anak bapak disini. Kebetulan sudah habis.” Ayahku mulai menangisa dan berlutut kepada dokter “ambil saja darah saya. Ambil saja semua berikan kepada anak saya. Saya tidak mebutuhkannya. Anak saya lebih membutuhkan” kata ayahku dengan bahasanya dengan berlutut memohon kepada dokter.
Darah ayahpun ditransfusikan kepadaku sebagian. Meskipun kepalaku agak pusing dan pening. Meskipun mataku sangat kabur pandangannya. Aku melihat jika ayah tersenyum kepadaku dan matanya berkaca-kaca. Pada detik itu aku tersadar akan cinta dan kasih sayang ayahku yang begitu besar. Ayahku rela dipukuli karena menyelamatkanku dari anak-anak nakal, ayahku rela kehilangan suaranya demi nyawa dan masa depanku, ayahku rela tak makan demi memenuhi giziku. Bukan itu saja pengorbanan yang ia lakukan kepadaku. Berjutaan pengorbanan yang ia berikan. Bahkan sekarang ia relakan nyawanya untuk hidupku. Aku terlalu bodoh mengacuhkan kasih sayang ayahku dan mempedulikan perkataan teman-temaku. Ayah tolong jangan tutup matamu terlebih dahulu sebelum aku bisa membahagiakanmu. Aku benar-benar mencintaimu Ayah, jangan tinggalkan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar